Kebiasaan  Mencontek  Cikal Bakal Generasi Bermental Korupsi

OPINI106 Dilihat

Oleh : Daeng Supriyanto

Sudah sewajarnya orangtua ingin anaknya mendapatkan nilai yang terbaik dalam akademiknya, tidak ada satu pun orangtua yang mau anaknya mendapatkan nilai akademik yang jelek. Namun terkadang beberapa orangtua justru mengartikan salah dalam keinginan tersebut karena orangtua tidak mengenal lebih dalam bakat dan kemampuan si anaknya sampai mana.

Orangtua ada yang menekan anaknya agar si anak mendapatkan nilai sempurna sampai pada akhirnya si anak menderita tekanan psikologis secara tidak langsung. Anak dalam hal ini dia lebih mengetahui batas kemampuannya semakin tertekan dengan adanya tuntutan demikian karena mengetahui batas kemampuannya maka dia melakukan berbagai cara untuk mendapatkan nilai bagus, termasuk dengan berbuat curang alias menyontek.

Menyontek adalah salah satu perbuatan curang untuk menguntungkan diri dengan bantuan orang lain. Diri. Praktek menyontek tersebar dari tingkat SD hingga universitas, parahnya hampir 90% peserta didik di Indonesia melakukan praktek ini. Beratnya soal ujian seringkali dijadikan alasan siswa untuk melakukan praktek menyontek. Adanya guru pengawas saat ujian juga tidak serta merta membantu menghilangkan praktek curang ini. Minimnya sanksi yang diberikan guru pengawas tidak memberikan efek jera pelaku praktek menyontek sehingga mereka berulangkali melakukan praktek ini.

Efek dari menyontek mungkin tidak akan dirasakan pada saat sekarang, namun dampak negatifnya akan bisa dirasakan kedepan. Praktek menyontek akan memberikan efek buruk seperti, Kebiasaan serba instan, Kebiasaan berbohong, Menganggap wajar kebiasaan yang salah, Mengandalkan orang lain (tidak mandiri) hingga menjadi Plagiat

Mari kita berkaca pada pernyataan seseorang sekelas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dibawah kepemimpinan Anies Baswedan dahulu  yang prihatin dengan Indeks Integritas atau tingkat kejujuran Ujian Nasional (UN) yang masih rendah. Bahkan ia menyebut, korupsi yang sekarang banyak terjadi, berawal dari tindakan contek-mencontek.

Perbuatan mencontek ini dilakukan dengan bebagai macam cara dan modus, mulai dari kode – kode jari, dengan lemparan catatan kertas kecil, menyembunyikan catatan bahkan ada yang berani terang terangan membuka buku. Parahnya lagi penyakit mencontek ini tidak mengenal gender, ia dapat terjadi pada siswa maupun siswi, dari yang perawakannya “sangar” hingga yang berperawakan rapi dan kalem, semuanya dapat terjangkiti.

Maka timbullah pertanyaan mengapa penyakit mencontek ini sangat sulit untuk disembuhkan?sehinggasiapapun siswanya dapat terjangkiti oleh penyakit ini? Penyebab utamanya adalah karena para siswa tersebut menjadikan nilai sebagai sebuah orientasi belajar, sebagai sebuah tujuan, sebagai sebuah tolak ukur diri, bukan seberapa besar ilmu yang mereka peroleh.

Para siswa yang mencontek cenderung untuk tidak memperdulikan bahwa nilai tinggi yang mereka peroleh dari mencontek adalah sesuatu yang melangar aturan, seolah olah mereka telah kehilangan rasa malu dan rasa bersalah atas perbuatan curang tersebut, sehingga mereka menghalalkan segala cara untuk menguntungkan diri mereka sendiri, yaitu memperoleh nilai yang tinggi, meskipun dengan merugikan orang lain yang telah bersungguh sungguh belajar dan berusaha. Pada titik inilah terdapat persamaan yang sangat kental antara para siswa yang mencontek dengan para koruptor.

Mencontek dalam ujian merupakan tindakan tak terpuji layaknya korupsi. “Mencontek adalah usaha untuk mendapatkan nilai yang bagus dengan cara yang curang. Sama halnya dengan koruptor yang menghalalkan cara untuk kaya, tapi dengan cara yang curang.

Sehinggan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merasa perlu untuk memasukkan materi antimenyontek dalam kampanye antikorupsi di berbagai daerah.KPK menganggap menyontek adalah embrio perbuatan korupsi.

”Menyontek itu gambaran dari jalan pintas untuk meraih sesuatu. Anak yang gemar menggunakan jalan pintas akan memakai cara itu untuk hal lain di luar urusan sekolah. Kebiasaan menyontek itu akan berkembang menjadi tindakan melanggar hukum, merugikan orang lain, hingga korupsi, yang sebenarnya tidak berguna apa pun bagi perkembangan anak. ”Kebiasaan menyontek itu akan merusak banyak hal.

Kedua perbuatan ini baik mencontek maupun korupsi begitu marak terjadi, bahkan dilakukan secara massiv dan sistematis, para pelakunya kompak bekerjasama dan saling melindungi serta memberikan banyak alasan untuk tidak mengakui perbuatannya saat tertangkap basah, sehingga mereka tampak seperti orang orang yang “merasa benar dijalan yang sesat”.Semangat menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan untuk menguntungkan diri sendiri lalu menganggapnya sebagai hal yang lumrah inilah yang menjadikan seorang siswa sebagai calon koruptor kelak di masa mendatang, ketika mereka telah berkecimpung kedalam kehidupan bermasyarakat sebagai pribadi pribadi yang mempunyai kekuasaan dan wewenang atas jabatan yang mereka sandang.

Untuk itu diperlukan usaha yang sinergis dan berkesinambungan dari berbagai pihak, utamanya dari lingkungan sehari hari tempat para siswa ini tumbuh dan berkembang,  yaitu lingkungan keluarga dan sekolah. Para orang tua harus memberikan pengertian tentang tujuan dari mereka mengantar anak anak mereka kesekolah bukanlah untuk sekedar memperoleh nilai yang tinggi, akan tetapi untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan akhlak yang baik. Karena apa gunanya jika anak anak kita memperoleh nilai nilai yang tinggi baik itu di raport maupun di ijazah mereka, akan tetapi itu tidak merepresentasikan ilmu pengetahuan mereka yang sesungguhnya, sungguh bukan sesuatu yang dapat dibanggakan.

Begitu pula dengan pihak sekolah, sekolah semestinya melakukan upaya-upaya yang nyata untuk mencegah terjadinya perbuatan perbuatan curang dalam pelaksanaan proses evaluasi, tidak mentoleransi siswa siswa yang telah menjadikan mencontek sebagai sebuah tabiat. Jika kita amati dengan seksama, tidak adanya sanksi yang tegas dan berefek jera menjadi penyebab mengapa para koruptor dan para pencontek begitu leluasa dan merasa aman aman saja dalam melakukan perbuatannya. Maka untuk mencegah terus tumbuh suburnya perbuatan korupsi, sudah selayaknya lah sekolah berpartisiasi untuk mencegahnya sejak dini, yaitu dengan memberikan sanksi yang tegas dan yang memberikan efek jera terhadap para siswa yang melakukan perbuatan mencontek tersebut.

Perbuatan korupsi harus dicegah sejak dini, ibarat sebuah pepatah populer, “Lebih baih mencegah daripada mengobati”

Kalau dunia pendidikan kita tidak berbenah, maka tunggulah “keajaiban” akan muncul. Mentalitas mencontek ini akan merongrong bangsa ini. Ia akan membius, menghujam, melukai bahkan melumpuhkan sehingga bisa menjadi bangsa yang kerdil dan miskin identitas.

Kalau pendidikan menjadi kata kunci dan fondasi bagi kemajuan bangsa ini, akankah bangsa ini bisa maju dengan kondisi yang ada sekarang ini. Ketidakjujuran, perilaku korup sudah mengakar dan menjalar ke mana-mana, tidak melihat status pendidikan, legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif  yang berperan dalam penegakan hukum sudah banyak terlibat dalam beberapa kasus korupsi.

Realita  ini menunjukan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan yang dalam hal menumbuhkan manusia yang berkarakter baik dan berakhlak mulia. Seperti kita ketahui bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian dan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, sebagaimana amanat UU No 20 Tahun 2003 yang hakekatnya adalah mengembangkan kemampuan dan potensi diri peserta didik dengan dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan, kepribadian, akhlak mulia dan kemandirian.

Pelajar sebagai peserta didik adalah anggota masyrakat yang berusaha mengembangkan potensi diri dan menemukan jati dirinya melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan satuan pendidikan tertentu. Oleh karena, pelajar merupakan subyek didik di dalam lembaga pendidikan maka diperlukan pembimbingan seluruh proses belajarnya sebagai peserta didik dalam proses pembimbingan.

Oleh karena itu, marilah awali hidup kita dengan sikap kejujuran dan tanpa harus berbuat curang untuk mencapai keinginan tertentu. Biasakan diri kita untuk menghindari hal-hal yang tidak patut dijempoli dan dibanggakan oleh sesama kita, diawali dari hal-hal yang kecil

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *