Edukasi Penegakan Hukum Yang Benar Dan Berkeadilan

OPINI163 Dilihat

Opini : Daeng Supriyanto

Salah satu karakteristik pendidikan hukum adalah dituntut untuk memenuhi hakikat keberadaan hukum yang tidak dapat dipisahkan dengan tuntutan tegaknya kebenaran hukum dan keadilan.  Untuk itu, perlu dikualifikasikan antara pendidikan hukum yang bertujuan untuk penegakan hukum dengan pendidikan hukum yang bertujuan pengembangan keilmuan.  Konsekuensi logisnya, perlu dibedakan antara pendidikan yang diarahkan untuk mengeluarkan produk bermerk profesi dengan pendidikan yang ingin menghasilkan profesor.  Masing-masing kualifikasi tersebut menuntut beberapa persyaratannya sendiri.

Pendidikan hukum yang bertujuan untuk mencetak para professional,  menuntut adanya tenga pengajar yang berkualifikasi profesional yang memiliki pengalaman sebagai praktisi. Proses pendidikan profesional tidak mungkin diberikan oleh orang yang tidak memiliki pengalaman parktis dalam bidang yang diajarkan. Mustahil mengajar berenang di atas kursi, tetapi harus terjun ke kolam renang.  Untuk itu, mata kuliah Hukum Acara,  Etika Profesi, Advokatur, dan sejenisnya, menuntut untuk adanya dosen pengampu yang memiliki kualifikasi praktisi-profesional.

Proses pendidikan yang bertujuan memenuhi kompetensi professional hukum, tidak bisa lain untuk memenuhi 3 (tiga) komponen profesionalisme, yaitu Knowledge, Skill(legal technical capacity) dan moral integrity.  Proses pendidikan interaktif yang berhubungan dengan pemenuhan Skill (legal technical capacity) inilah yang menuntut untuk diberikan oleh dosen pengampu yang memiliki kualifikasi professional.

Karakteristik ilmu hukum memerlukan syarat dipenuhinya metode berpikir yang memungkinkan peserta didik dapat dan terampil menegakkan hukum. Ilmu hukum tidal lepas dari Norma,  Asas, dan Nilai.  Ilmu hukum yang applicable memberi beban kewajiban terhadap institusi pendidikan hukum (Strata I ) untuk memberi bekal yang cukup bagi para mahasiswanya untuk menguasai ilmu hokum dan piawai mengaplikasikannya.

Problem-based learning (belajar berbasis masalah) merupakan salah satu metode yang relevan diterapkan dalam proses mencetak professional hukum.  Dengan metode ini mahasiswa dilatih untuk terampil menganalisis dan memecahkan permasalahan hukum yang dihadapi.  Permasalahan hukum sifatnya kaya aneka, karena berkorelasi dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, ilmu dan teknologi.

Dalam menghadapi permasalahan hukum yang dinamis, orang hukum dituntut untuk memiliki kompetensi strategis dalam memecahkan permasalahan hukum yang terjadi di dalam masyarakat.  Untuk itu, institusi pendidikan hukum harus bertanggung-jawab untuk memberi pengetahuan dan keterampilan yang cukup bagi mahasiswanya sebagai pemegang predikat sarjana hukum.  Dalam hubungan ini mahasiswa harus dilatih mengasah ketajaman pola berpikir metakognitif dan konatif, sehingga predikatnya sebagai orang hukum dapat terpenuhi.

 

Agar mahasiswa dapat mencerap knowledge  dan legal technical capacity (Skill) yang diberikan oleh para pengampu yang kompeten, dalam proses interaksi perkuliahan, diperlukan adanya teknik penyajian maka kuliah  yang cocok dengan karakteristik pengetahuan hukum yang selalu bergerak dinamis secara sentrifugal ke arah perkembngan lingkungan poleksosbud dan secara bersamaan bergerak secara sentripetal ke arah substansi nilai-nilai yang terkandung dalam perangkat aturan hukum.  Misalnya penyajian mata kuliah dengan memutar film Nurenberg On Trial dalam mata kuliah Hukum Hak Asasi Internasional (International Human Rights Law), Film The Client, Street Lawyer, dalam mata kuliah Etika Profesi.

Hal yang demikian akan mempengaruhi dan merubah mindset para mahasiswa ke arah pola pikir yang concern terhadap tegaknya keadilan dan memiliki empati atas martabat kemanusiaan.

Sesuai dengan watak hukum yang bersukma keadilan dan berspirit kerakyatan, maka institusi pendidikan hukum berkewajiban untuk menyadarkan para mahasiswa tentang entitas hukum yang memiliki kandungan nilai-nilai universal.  Seperti kebenaran, keadilan, hak asasi manusia, egalitarian, demokratis,  dan sejenisnya.

Institusi pendidikan hukum berkewajiban memberi bekal kepada para mahasiswa untuk memiliki ideologi penegakan hukum yang berorientasi keadilan dan martabat kemanusiaan.  Konotasinya, produk pendidikan hukum harus memiliki komitmen menegakkan hukum yang bersukma keadilan dengan segala dimensinya baik itu moral justice, social justice, total justice, cosmic justice, yang dalam praktek penerapannya antara lain berhubungan dengan restorative justice dan transitional justice.  Untuk itu, para mahasiswa hukum tidak dapat dibenarkan memiliki sikap yang asosial, apolitis dan steril dari suara nurani rakyat.

Agar para mahasiswa tidak terasing dari roh keadilan yang melekat pada predikatnya sebagai orang hukum, diperlukan adanya iklim kehidupan kampus yang kondusif bagi tumbuhnya benih-benih penegak hukum yang memiliki ideologi yang bersenyawa dengan denyut nadi hati nurani rakyat.

Visi dan misi suatu institusi pendidikan dapat membantu membangkitkan spirit para penghuni kampus yang bersangkutan.  Ada kampus yang menggunakan slogan With Long Tradition of Freedom, dan sejenisnya, dapat menggugah dan membudayakan tingkah laku para civitas akademika sesuai dengan nilai yang dikandungnya.  Membangun budaya lembaga pendidikan hukum berarti membangun perangkat lunak (software) yang memang menuntut konsistensi dan persistensi para penanggung-jawab pendidikan hukum.

Dalam upaya memompa spirit para mahasiswa hukum, diperlukan adanya tokoh atau inspirator yang dapat membangkitkan dan mempertajam nurani para mahasiswa terhadap nilai hakiki dari keberadaan hukum. Hal ini merupakan konsekuensi dari  habitat hukum yang berkorelasi dengan akal sehat (common sense) dan keadilan. Penegakan hukum yang tanpa nilai berpotensi untuk menimbulkan The Death of Common Sense dan The Death of Justice, sehingga jika banyak sarjana hukum yang demikian akan menjadi beban sosial bagi masyarakat dalam proses penegakan hukum dan pembangunan peradaban bangsa.

Hukum dibuat dan bekerja berdasarkan asumsi bahwa yang dihadapi adalah keadaan normal. Apabila keadaan berubah menjadi tidak normal, hukum dihadapkan kepada kesulitan.

Pintu-pintu darurat hukum

Sebenarnya sejak awal, pembuat hukum sendiri menyadari, ia membuat hukum berdasarkan asumsi situasi yang normal. Maka, untuk mengantisipasi terjadinya keadaan yang tidak selalu normal, hukum sudah menyediakan pintu-pintu untuk keluar dari keadaan darurat itu.

Contoh, diskresi dalam kepolisian. Di sini seorang polisi diberikan hak istimewa untuk tidak menerapkan hukum yang seharusnya dilakukan atas dasar pertimbangan menyelamatkan keadaan. Ini banyak terjadi dalam pengaturan lalu lintas. Contoh lain adalah hal untuk menyampingkan proses hukum yang sedang berjalan (deponeering). Hak itu hanya diberikan kepada Jaksa Agung berdasarkan pertimbangan untuk menyelamatkan kepentingan bersama yang lebih besar.

Membuat dan mematahkan

Dari uraian itu, ternyata pekerjaan hukum tidak hanya melakukan rule making (membuat dan menjalankan), tetapi sesekali—dalam keadaan tertentu—juga melakukan rule breaking (terobosan). Contoh tentang ”pintu-pintu darurat” itu adalah di mana hukum melakukan terobosan terhadap peraturan, doktrin, dan lain-lain yang dibuatnya sendiri.

Dari uraian itu, kita juga belajar, yang namanya hukum tidak selalu memuat suasana yang penuh ketertiban dan keteraturan (order), tetapi juga ketidakteraturan (disorder). Di sini hukum menyadari kekurangannya sehingga menyediakan berbagai mekanisme untuk menyelamatkan eksistensinya. Kalau sudah begini, kita harus mengatakan, yang teratur dan tidak teratur itu sama-sama ada dan berkelindan dalam hukum.

Amerika Serikat memberi contoh yang baik bagi kita tentang bagaimana membebaskan diri dari tradisi berhukum yang dirasakan membelenggu dinamika sosial yang berjalan. Dalam sejarah tercatat, pada suatu kurun waktu tertentu, AS bekerja keras membangun negerinya untuk menjadi negara modern. Saat itu, berbagai praktik hukum dilakukan guna mendukung AS yang sedang bergerak dinamis. Apa pun dilakukan, bahkan kalau perlu prinsip, doktrin yang berkualitas universal, dipinggirkan. Saat itu Mahkamah Agung AS membuat berbagai putusan monumental untuk membantu pembangunan AS, bahkan dengan cara-cara rule breaking (baca: menerobos) sekalipun.

Jika di dunia ada doktrin universal Trias Politica yang membuat pembatasan ketat antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, demi kepentingan AS yang sedang membangun, doktrin besar itu dipatahkan. Dicontohkan bagaimana pengadilan membuat berbagai putusan, seolah duduk di kursi eksekutif (government by the judiciary).

Tentu saja, komunitas hukum dunia menjadi amat gusar. Namun, jawaban apa yang dilontarkan Negeri Paman Sam? AS dengan gagah mengatakan, ”this is the American development” dan ”this is the American concept of law”.

Selama ini kita adalah murid-murid yang baik dan patuh terhadap cara berhukum yang umum digunakan bangsa-bangsa di dunia, termasuk asasnya, doktrin-doktrinnya. Tanpa disadari, kita telah membelenggu diri sendiri dengan menganggap bahwa kita tidak dapat keluar dari praksis yang sudah dipersepsikan sebagai berhukum secara universal.

Gagasan progresif diharapkan dapat membantu kita keluar dari kungkungan cara berhukum yang sudah dianggap baku. Di sini, hukum progresif membebaskan kita dari cara berhukum yang selama ini dijalankan.

Sudahlah, semua konflik yang terjadi dalam ranah hukum mulai saat ini harus kita hentikan. Terlalu mahal apabila kepentingan yang lebih besar, yaitu membangun dan menyejahterakan bangsa, harus dibayar dengan pengurasan energi untuk menyelesaikan kemelut hukum yang sedang terjadi.

Mulai sekarang kita dorong sepenuhnya agar Presiden sebagai kepala negara tidak ragu mengambil alih komando penyelesaian kemelut hukum yang sedang terjadi demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Penyampingan terhadap doktrin, praksis hukum tradisional, dan lain-lain, kalau itu ada, kita pikirkan nanti.

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum, hal ini mengandung arti bahwa setiap orang sama dihadapan hukum. Pengertian negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum (Mustafa Kamal Pasha, dalam Dwi Winarno, 2006).

Dengan demikian dalam negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum, bukan kekuasaan, pemerintahan negara juga berdasar pada konstitusi, tanpa hal tersebut sulit disebut sebagai negara hukum. Supremasi hukum harus mencakup tiga ide dasar hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.

Oleh karena itu di negara hukum, hukum  tidak boleh mengabaikan “rasa keadilan masyarakat”. AV Dicey , dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberi ciri-ciri Rule of Law antara lain (1). Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. (2). Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat dan (3). Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan (Winarno, 2009).

Dari perumusan di atas, negara Indonesia memakai sistem Rechsstaat yang kemungkinan dipengaruhi oleh konsep hukum Belanda termasuk dalam wilayah Eropa Kontinental. Konsepsi negara hukum Indonesia dapat dimasukkan sebagai negara hukum materiil, yang dapat dilihat pada Pembukaan UUD 1945 Alenia IV. Negara Hukum Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.

 

Pertama, norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar nasional. Kedua, sistem yang digunakan adalah Sistem Konstitusi. Ketiga, kedaulatan rakyat atau Prinsip Demokrasi. Keempat, prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Psl. 27 (1) UUD 1945. Kelima, adanya organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR). Keenam, sistem pemerintahannya adalah Presidensiil. Ketujuh, kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif). Kedelapan, hukum bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kesembilan, adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (Pasal 28 A-J UUD 1945).

Sebagaimana diketahui bahwa hukum itu ada untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat agar menjadi tertib. Menurut Yulies Tiena Masriani, 2004 dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia. Hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat, selama masyarakat tidak lagi mempercayai bahwa hukum sebagai sarana untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat, maka hukum rimbalah yang menjadi solusi penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak.

Belakangan ini, ada banyak kasus perampokan, pencurian dan kasus kejahatan lainnya. Ketika pelakunya tertangkap tangan, maka massa akan mengeroyok dan memukulinya bahkan sampai  berujung kematian. Kejadian demi kejadian telah dimuat di media elektronik, cetak dan media online. Pengaruh dari pemberitaan ini telah membentuk opini publik bahwa pelaku kejahatan harus dihukum dengan hukuman setimpal. Hanya saja, proses hukumnya terkadang berhenti di hukum rimba tadi dan pelakunya tewas diamuk massa.

Dalam pelaksanaan penegakan hukum, Aparat Penegak Hukum (APH) selalu timbul keraguan (gamang) apabila pelaksanaan penegakan hukum disatu sisi dihadapkan dengan gencarnya perlawanan dari si pelaku melalui pembentukan opini publik. Permasalahan yang muncul kemudian adalah, apakah penegakan hukum akan dikorbankan dengan adanya kekuatan opini publik yang dilancarkan oleh pelaku.

Ciri Negara hukum antara lain menyebutkan setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

Yang menjadi masalah adalah jika penegak hukum itu sendiri yang melanggar atau mengabaikan aturan-aturan hukum yang berlaku atas pertimbangan-pertimbangan subjektif, dan/atau menjadikan aturan-aturan itu peluang terjadinya aparat penegak hukum melakukan perbuatan tercela. Bagaimana mungkin kita bisa menuntut masyarakat patuh, sementara kewibawaan dan kredibilitas penegak hukum tidak baik. Lembaga-lembaga negara terutama yang bersinggungan langsung dengan penegak hukum harus menjalankan tugas dan kewajiban mereka dengan baik, dan aturan-aturan yang tidak tepat direvisi sebagaimana mestinya.

 

Seyogyanya ketika kita berpedoman pada UUD 1945 dan aturan hukum yang berlaku di Negara kita yang menegaskan bahwa semua warga Negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, aparat penegak hukum diharapkan memiliki kearifan dan kemampuan dengan mengedepankan sikap profesional dalam melihat suatu kasus sebelum mengambil satu keputusan.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *